4 Prinsip Moderasi antara Budaya dan Agama

Budaya yang diyakini oleh banyak orang sebagai warisan luhur di setiap bangsa, terkadang mengalami keterbatasan makna, meski di setiap daerah memaknai budaya sangat beragam, namun secara global justru hanya disepakati dengan satu istilah dalam bahasa Inggris, yaitu culture.

Belum lagi, jika makna budaya berhadapan dengan makna agama. Keduanya baik budaya dan agama jika berhadapan satu sama lain, seolah menimbulkan konflik dan tidak dapat harmonis berjalan bersama-sama.

Budaya atau culture yg dimaknai sebagai produk manusia, yaitu akal budi. Seolah hanya membatasi bahwa budaya memang produk manusia, yang kehadirannya tidak bisa sebanding dengan Agama. Dan menurut Koentjaraningrat (1923-1999) menambahkan bahwa makna budaya adalah seluruh sistem gagasan, rasa, dan tindakan serta karya yang dihasilkan manusia dalam kehidupan. Sedangkan agama yang bermakna universal merasa mewakili seluruh agama bahkan aliran kepercayaan, sedangkan secara historis ‘Agama’ memiliki berbagai macam ragam, tidak seperti budaya meski banyak kepercayaan namun dapat disatukan dengan makna ‘budaya’.

Di sini yg pada akhirnya makna budaya dan agama tidak mampu harmonis saling melengkapi, seolah budaya berdiri sendiri lepas dari agama, begitu juga sebaliknya. Di saat seperti ini, maka kita perlu konsep moderasi yaitu jalan tengah untuk menengahi persoalan budaya dan agama, agar dapat berdampingan secara harmonis.

Baca juga:  Agama yang Dikapitalisasi: Gejala Lumrah atau Lu Marah

Menengahi budaya dan agama agaknya perlu, mengingat kerap sekali terjadi gesekan bahkan konflik antara budaya dan agama. Moderasi harus hadir menengahi dengan upaya Dekonstruksi ‘mengulang’ kembali struktur bahasa terkait makna budaya dan agama itu sendiri. Budaya dan Agama harus disusun kembali maknanya, menurut Jacques Derrida bahwa teks itu tidak lagi sebagai tatanan yang utuh, melainkan arena pergulatan yang terbuka. Sehingga perlu dekonstruksi teks budaya dan agama yg selama ini kerap menemukan kontradiksi bahkan terjadi gesekan.

Dekonstruksi makna budaya harus dipahami secara terbuka bukan sekedar akal budi perilaku manusia, yang selama ini dipahami. Menurut Kiai Jadul Maula, bahwa Budaya sesungguhnya memiliki makna yang luas dan luhur, yaitu terdiri dari dua kata; pertama kata ‘Budi’ itu bermakna cahaya dan kedua kata ‘Daya’ bermakna perilaku. Sehingga Budaya secara istilah bermakna luas, yaitu segala perilaku manusia yang diilhami oleh Cahaya. Cahaya itu sendiri menurut Jadul Maula menambahkan bahwa itu bermakna ‘Tuhan’. (disampaikan pada acara temu konsultasi pemahaman keagamaan di DIY oleh Bimas Kementrian Agama RI).

Baca juga:  Memahami Tradisi Kenabian dengan Beragama tanpa Curiga

Ketika memahami budaya sebagai perilaku yang didapat dari cahaya ‘Tuhan’. Maka ada titik temu yang dapat menengahi kontradiksi makna budaya terhadap agama. Karena Agama yang dimaknai secara mainstream pun kurang lebih ada persamaan makna dengan budaya, yaitu agama adalah sebuah keyakinan yang hadir dari sang maha pencipta ‘Tuhan’. Sehingga orang yang beragama, yaitu orang yang juga berakal dan berperilaku baik yang dibimbing oleh ‘Tuhan’. (Harun Nasution, 1973)

Setelah dapat menengahi persoalan budaya dan agama, kiranya kita semua sepakat bahwa budaya dan agama memiliki tujuan yg sama yaitu perilaku kebaikan. Baik Budaya dan Agama keduanya juga mengajarkan nilai-nilai kehidupan yang harmonis baik sesama makhluk, alam, bahkan hubungannya dengan ‘Tuhan’.

Maka Budaya dan Agama yang hadir harus disikapi dengan Moderasi, yaitu mengambil jalan tengah agar tidak terjadi ekstrimis yang berlebih dengan memihak salah satunya dan menganggap paling baik. Dalam Islam pun mengenal istilah perubahan budaya atau rekonstruksi, jika ada hal-hal yang perlu disesuaikan dengan ajaran Islam; dan adakalanya Islam melakukan akomodasi, jika budaya atau tradisi tersebut tidak bertentangan sama sekali dengan Islam. (Prof. Abdul Mustaqim, 2020)

Baca juga:  Sayyidina Umar: Prototype Penafsir Alquran Secara Kontekstual

Untuk itu, Moderasi terhadap Budaya dan Agama juga menjadi keharusan yang segera dapat dipahami Masyarakat Indonesia, mengingat saat ini Indonesia tidak lagi lahir dari mono-culture atau mono-religius, namun lahir dari multiculture dan multireligius. Sudah saatnya moderasi terhadap budaya dan agama, juga dapat mengedepankan prinsip-prinsip sebagai berikut:

  1. Minal ‘adawah ila al-ukhuwwah (dari saling bermusuhan menjadi persaudaraan)
  2. Mina al-ghuluww wa tatharruf ila al-i’tidal wa al-tawassuth (dari sikap ekstrem dan radikal menjadi bersikap moderat dan tengah-tengah)
  3. Minal la’nah ila rahmah wa samhah (dari pandangan yang cenderung melaknat orang lain (intoleran) menuju kasih sayang dan toleran)
  4. Minal in-ghilaq ila al-infitah (dari sikap eksklusif ke arah inklusif)

Kiranya dengan 4 poin di atas, kita dapat menumbuhkan sikap moderasi dan menguatkan kembali pemaknaan ulang atas budaya dan agama yang selama ini sering dimaknai kontradiksi bahkan sampai terjadi konflik diantara keduanya. Wallahu a’lam bishawab.

Komentar Facebook
0