Shalawat Era Milenial: Milih Nisa Sabyan atau Veve Zulfikar?


Penulis: Ade Chariri


Ada yang ingat bulan Ramadan kemarin? Kira-kira musik apa yang sering kalian dengar di warung kopi, mini market, super market, pom bensin, sampai warteg? Setidaknya saat ngabuburit menjelang buka puasa. Ya, sepertinya kebanyakan lagu shalawat dan religinya Dik Nisa Sabyan. Yang hmm hmm, gitu.

Baik, apa yang menarik dari shalawatan di hari ini?. 


Sebentar, sebentar. Kalau merujuk KBBI, bukan shalawat, melainkan selawat. Tapi kok, rasanya wagu ya, selawat. Ya sudah lah, kita pakai selawat saja. Ikut KBBI.

Saya akan berangkat dari pernyataan Gus Yusuf Tegalrejo, beliau ngendiko begini “Aku iki wis tuwo, tapi angel nek ngajak cah enom selawatan, lha aku nemu bocah umur 18 tahun, nek ngajak selawatan kok gampang banget, padahal modale gur hmm hmm” 


(Saya ini sudah tua, tapi sulit kalau mengajak anak muda untuk mau bershalawat, akhirnya saya menemukan anak umur 18 tahun, kalau ngajak shalawatan anak muda itu mudah sekali, padahal cuma modal hmm hmm).

Saya dapat pernyataan tersebut dari adik saya yang kebetulan santrinya. Akhirnya sosok seperti Gus Yusuf beberapa kali mengundang Sabyan untuk manggung dalam acaranya, yang terkahir adalah peringatan Maulid Nabi di Syubbanul Wathan, Magelang pada tanggal 15 November kemarin.

Dari sini, Saya melihat sebuah fenomena yang unik. Selawat sendiri sifatnya adalah ma’tsurat dan ghairu ma’tsurat. 


Ma’tsurat, artinya bahwa redaksi selawat tersebut ada dalilnya. Sedangkan yang ghairu ma’tsurat, artinya bahwa selawat tersebut adalah kreativitas umat Islam yang memang dibuat untuk berselawat kepada Nabi.

Nah, ketika kita berbicara grup band religi Sabyan Gambus, kita tidak bisa lepas dari vokalisnya yang cantik, ialah Dik Nisa. Meskipun ada embel-embel ‘gambus’ namun tak semua lagunya bernada gambus, kadang-kadang pop religi, dan kadang-kadang bukan yang berisi selawat kepada Nabi.

Seperti salah satu cover terbarunya yang Labbaika Allahumma Labbaik yang di beberapa akun instagram santri mengkritiknya sebab seperti menghilangkan al pada kata wa al-ni’mata.


Hilang. Sekali lagi, hilang. Silahkan lapor ke pihak yang berwenang.

Ada yang bilang, kalo Sabyan terkenal hanya karena sosok Dik Nisa yang menggemaskan dan memiliki suara yang indah memesona, sekaligus memiliki daya tarik bagi siapapun, khususnya generasi milenial, bahkan Gus Yusuf, Gusnya santri milenial.

Menurut saya, fenomena demikian adalah hal yang wajar. Sebab para personil Sabyan kemungkinan tidak merasakan bangku dan lantai pesantren yang panas-dingin, dan sepertinya sah-sah saja, sepanjang mereka memang tidak tahu, namun tetap ingin belajar. Karena awalnya, Sabyan adalah sebuah band lokal yang sering diundang di hajatan pernikahan. 


Seiring berjalannya waktu, akhirnya mendunia di jagat Youtube.

Sampai hari ini, Sabyan menjadi ‘momok’ yang menggairahkan bagi milenial untuk berselawat, atau setidaknya bermusik religi -lihat saja channel youtubenya, waw sekali. Apalagi pas denger hmm hmm nya di lagu Deen Assalam. Merinding bulu kuduk.

Selain Nisa Sabyan, ada sosok yang tak kalah waw, dialah Dik Veve Zulfikar, asli Sidorajo yang lahir di kalangan Nahdliyin. Buktinya adalah salah satu senandungnya yang jam’iyah nahdlatil ‘ulama, li i’laa-i kalimatillah. Meskipun Channelnya di Youtube tak sebanding dengan Sabyan.


Dik Veve, ketika manggung selalu dibarengi Bapaknya, Zulfikar seorang Qari nasional. Jika ditelisik lebih jauh. Dik Veve adalah santri tulen, ia lahir dalam keluarga yang berkultur tradisional.

Di sisi lain, yang menjadi persoalan para warganet adalah tentang kefasihan bernyanyi antara Dik Nisa dan Dik Veve. Dik Veve terkenal lebih fasih dan mampu menempatkan huruf-huruf Arab pada bait liriknya sesuai sifat dan porsinya, sederhananya makharijul hurufnya pas dan sesuai.

Dimungkinkan karena Dik Veve ini adalah santri, dan Dik Nisa anak sekolahan. Dik Veve memiliki suara yang indah juga, dan sering memainkan suluk ala santriwati. Bedanya, kalau Dik Veve bernyanyi dengan solo, bukan grup band seperti Dik Nisa. Dan kalau dalam hal membaca Alquran pun, Dik Veve terdengar lebih pas ketimbang Dik Nisa.

Namun, yang menjadi sorotan warganet terhadap Dik Veve adalah, kalau Dik Veve nyanyi itu terkesan  seperti ‘memaksakan suara’ sambil ngeden-ngeden, lain halnya dengan Dik Nisa yang terlihat lebih enjoy, smooth dan cemokot.

Kalau saya sih, hal tentang kefasihan memang terkesan normatif, sebab nantinya bait-bait yang kebanyakan berbahasa Arab, ketika tidak sesuai, ada kemungkinan terjadi distorsi makna, bahkan perubahan makna. Namun, jangan lantas dijadikan alasan untuk tidak bershalawat.

Lalu, kita harus bagaimana?

Mau Dik Veve, mau Dik Nisa. Keduanya sama-sama melantunkan kalam-kalam indah berbahasa Arab, yang diyakini umat sebagai bahasa surga.


Mau Dik Veve, mau Dik Nisa, yang penting selawatan. Keduanya cantik menggemaskan, muda dan energik. Keduanya juga sama-sama mengajak untuk inget kanjeng Nabi dan Gusti Allah, ketimbang misal, disibukkan dengan konser-konser atau nyanyian-nyanyian yang bernuansa ‘kurang sesuai’. Namun, semua kembali pada selera dan porsi masing-masing dalam menikmati musik.

Pokoknya, paham atau tidak tentang artinya, berselawat saja dulu. Lha wong para penghafal Alquran saja yang penting hafal dulu, sesuai tajwid dan qira’at tentunya. Perkara paham arti dan makna belakangan.

Coba dengarkan saja, suara Dik Veve dan Dik Nisa, bisa jadi kalian tidak akan sibuk mencari tentang mana yang lebih fasih, atau mana yang lebih pas. Karena keduanya sama-sama memiliki suara yang indah. Keduanya adalah representasi dari generasi milenial yang peduli agama Islam ramah, melalui musik religi dan selawat kekinian.

Apalagi sekarang bulan Maulud, bulan lahirnya kanjeng Nabi. Perbanyak selawat, ya.

Jadi, pilih Dik Veve apa Dik Nisa? Stalking saja akun instagram pribadinya. Kalau saya sih, pilih dua-duanya, kan batas maksimalnya empat. 


Baca tulisan menarik lainnya tentang Selawat, atau esai yang ditulis oleh Ade Chariri.
Komentar Facebook
0
Baca juga:  Asinonimitas, Al-Quran, dan Penerjemahan yang Tergesa-gesa