Mendukung Jokowi atau Prabowo, Haruskah Menjadi Cebong dan Kampret?

Presiden Joko Widodo dan Ketua Umum PB IPSI Prabowo Subianto bersama-sama memeluk atlet pencak silat putra Indonesia Hanifan Yudani Kusuma di Padepokan Pencak Silat, Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta, Rabu (29/8/2018). 

Penulis: Alwi Mohamad


Hiruk-pikuk dunia politik memasuki babak berikutnya, setelah terjadinya beragam huru-hara yang terjadi khususnya di dunia maya, hingga merongrong kedamaian dunia nyata. 


Ada yang tegang, santai hingga naik pitam. 


Semuanya adalah sebuah ekspresi dari beragam aspirasi yang melahirkan beragam pendapat yang berbeda. Hingga melahirkan afiliasi-afiliasi politik yang membentuk sebuah kubu. 

Spektrum dalam afiliasi dunia politik memang sedari dulu sudah terlahir. Di antara istilah populer dalam dunia perkubuan dunia politik ialah kubu sayap kanan dan kubu sayap kiri. Istilah ini begitu mapan hingga masih bisa kita nikmati perkembangannya hingga sekarang.

Namun akhir-akhir ini dunia perpolitikan indonesia mulai menggoyahkan eksistensi kemapanan penggunaan dari kedua istilah tersebut, dengan melahirkan istilah-istilah baru yang lebih spesifik, yaitu cebong dan kampret. 


Kubu cebong dikenal sebagai pendukung Jokowi-Ma’ruf, sedangkan kubu kampret dikenal sebagai pendukung Prabowo-Sandi, kedua istilah ini begitu menyeruak kuat ke permukaan media yang arus penyebarannya begitu cepat dan kuat. 

Di setiap kubu, cebong maupun kampret memiliki tingkat militansi yang sangat luar biasa kuatnya. baik dari tim sukses partai maupun para kaum sukarelawan yang independen tidak dikenal seluk beluknya oleh para kaum partai. 

Mereka sama-sama berjuang demi para jagoannya untuk berhasil duduk di kursi RI 1. Namun miris dari dukungan yang terlahir dari hati nurani “katanya” yang bertujuan untuk menjadikan kedua calon presiden menduduki kursi istana negara, harus dinodai dengan beragam pelanggaran-pelanggaran yang tidak sesuai dengan nurani kemanusiaan, padahal sebagaimana Gus dur pernah mengutarakan pandangannya bahwasanya politik tertinggi adalah kemanusiaan. 

Namun para cebong dan kampret dengan seenaknya mendewakan para jagoannya masing-masing dengan beragam cara, baik dengan cara normal maupun tidak normal. Puncaknya, dunia maya seolah menjadi pelampiasan hasrat kefanatikan dua kubu untuk saling mengunggulkan masing-masing calon yang berujung pada perdebatan hingga cacian. 

Inilah sebabnya nuansa politik di Indonesia tidak bisa disebut sebagai ideologi kanan-kiri.

Baca juga:  Ghibah Dalam Kitab Tanbihul Ghafilin Karya Imam Abul Laits As Samarkandi

Akal dan nalar seolah tidak berguna lagi, mereka rela menanggalkannya demi nama cebong dan kampret. Bahkan di tahun politik mereka seolah-olah mempunyai hobi baru yaitu saling mencari kesalahan antara satu sama lain, hingga saling melempar isu yang tidak sedap.


Sikap mereka bahkan seperti anak kecil yang saling berebut mainan, saling bersikukuh pada keinginan mereka masing-masing. 

Sehingga kedewasaan mereka seolah hilang ditelan kefanatikan yang hanya memandang satu arah. Tidak memandang kemaslahatan. 

Sudahlah akhiri saja perdebatan ini, sudah berapa kilo amarah yang menyesakkan dada kita, padahal kita adalah satu bangsa, apakah kita mau saling hujat antar satu sama lain terus menerus? toh pada akhirnya presiden yang kita pilih tidak akan mengenal kita sepenuh hati, sebagaimana dukungan kita yang hampir setengah mati. 

Seperti apa yang dikatakan Pidi Baiq “Orang yang kau pilih waktu Pemilu adalah dia yang dengan sirene polisi akan menyuruhmu minggir di jalan raya.” 

Duh, gimana coba perasaanmu? sudah membela mati-matian, hubungan dengan kerabat merenggang. Bahkan ada beberapa kawanmu yang pura-pura bodoh dalam urusan politik demi menghormati bualanmu. 

Tetap saja orang yang kamu pilih akan menyuruhmu minggir di jalan raya. 

Yang terpenting, sebesar apapun hajat besar yang diselenggarakan oleh bangsa kita, yang paling utama tetaplah ukhuwah. Terutama ukhuwah wathaniyah (persaudaraan berdasarkan kebangsaan) dan ukhuwah basyariyah (persaudaran berdasarkan kemanusiaan). 

Tanpa semangat ukhuwah dalam sebuah bangsa hanya akan menyisakan kepedihan . Jangan berharap menjadi negara baldatun toyyibatun wa rabbun ghafur jika akar rumput yang paling terkecil saja kita tidak mampu hadirkan dalam kehidupan berbangsa .

Baca juga:  Pendulum Arus Baru Islam Indonesia Pasca 212

Sudah saatnya kita menebarkan rasa cinta kembali dengan semangat gotong royong bersatu padu menjadikan bangsa kita, bangsa yang ramah bukan menjadi bangsa yang marah. melepaskan segala atribut, kelompok golongan tertentu, yang memecah belah.


Berprasangka baik saja kedua calon adalah putra-putra terbaik bangsa, yang akan memimpin indonesia lebih baik di masa yang akan datang. 

Tugas kita tetap berpartisipasi menjaga keharmonisan dan persatuan dalam berbangsa, dengan memilih presiden sesuai dengan hati nurani dan tidak perlu mencaci maki sebuah perbedaan pilihan.

Mari kita bersama-sama menjaga persatuan. Kalau bukan kita yang menjaga? siapa lagi?. 

*Alwi Mohammad, Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Prodi Bahasa dan Sastra Arab
Komentar Facebook
0