Tiga Tirakat Yang Tidak Boleh Ditinggalkan Oleh Santri

Foto: sabak/niam

Persoalan tirakat, dalam tradisi pesantren acap kali kita menjumpai joke yang lumrah dilakukan santri, dengan kecenderungan masing-masing.

Ada beberapa santri yang mengatakan bahwa “Tirakatku puasa kok, jadi nderese kadang-kadang nek pas gelem wae”

Ada juga yang nyeletuk “Tirakatku ngaji wae, poso kan marakke ngeleh, nek awan gak iso udud” yang lebih menggelitik adalah “Halah, sing penting ngabdi, melu-melu roan kanggo pondok, kan ora ngaji ora popo, ora ditakzir, mergo roan, ngabdi kanggo pondok, oleh ganjaran mbarang.”

Nah, yang terkahir ini sepertinya jelas gak puasa, lha wong ngaji saja tidak, apalagi puasa yang harus berlapar-lapar ria di tengah roan.

Jika kita cermati, ketiga hal di atas bukan persoalan yang normatif, dan ketiganya tidak bisa dipisahkan sebagai suatu bagian yang berbeda, sebab ketiga-tiganya merupakan sesuatu yang sakral dalam orisinalitas tradisi pesantren.

Oke. Kita bahas satu per satu.

Pertama adalah puasa, banyak contoh kesuksesan santri dalam bab hafal mengahafal berhasil karena dibarengi tirakat puasanya, meskipun tidak sedikit juga yang sukses tanpa tirakat puasa. Menyoal berbagai macam puasa, bahwa bagi santri, berpuasa tidak hanya dilakukan di bulan Ramadhan saja.

Dalam tradisi pesantren, banyak hal yang melatarbelakangi santri untuk berpuasa. Misalnya seperti yang dinyatakan di atas, bahwa puasa sebagai ‘tirakat hafalan’, meminta atau mendapatkan ijazah puasa sebagai rutinitas spiritual penempaan batin, seperti puasa dawud –sehari puasa dan sehari tidak, diambil dari cara berpuasa yang dilakukan oleh Nabi Dawud – atau puasa dalail –puasa setahun penuh kecuali lebaran dan hari tasyrik– atau puasa senin-kamis, yang juga lazim dikenal kalangan masyarakat pada umumnya.

Meski terdapat keunikan tersendiri bahwa terkadang ada beberapa santri yang sengaja berpuasa untuk ngirit uang jajan dan rokok.

Kedua adalah ngaji. Ngaji merupakan aktifitas pokok dan paling penting bagi santri. Saking pentingnya, sebodoh apapun santri dalam memahami pelajaran kitab kuning misalnya, pokoknya kudu ngaji, nanti lama-lama juga bisa sendiri, sebab di dalam majelis ilmu ngaji seperti demikian terdapat aspek keberkahan yang tak kasat mata.

Dan ini agaknya terbukti menurut penuturan para alumni pondok pesantren.

Sisi yang fenomenal tentang kata ngaji adalah wasiat dari Mbah Nawawi Allahu Yarham sebelum beliau wafat, bahwa “kabeh santri kudu ngaji, nek ora ngaji yo mulang.”

Dari dawuh tersebut dapat dipahami bahwa posisi santri sebagai yang ngaji atau yang mulang (mengajar ngaji), esensinya satu; mengaji, sebab sama-sama memenuhi kebutuhan hati dan otaknya terhadap aspek ketuhanan, dan sama-sama membuka kitab, baik kitab suci Alquran maupun kitab kuning, bukan kitab yang fiksi.

Ketiga adalah Ngabdi. Perkara ngabdi pun jangan dianggap sesuatu yang remeh dan receh. Sebab kebanyakan santri yang pada dasarnya memang benar-benar jarang mengaji, apalagi puasa, ada yang lebih gandrung dalam dunia pengabdian, juga bisa sukses, apalagi dalam hal percintaan (gampang dapet Ning –julukan putri/cucu Kiai atau sebab besanan).

Santri yang mengabdi juga memercayai bahwa sisi lain mendapat keberkahan selain ilmu adalah dengan cara mengabdikan diri kepada kiai atau pesantren.

Sebut saja sebagai contoh guru saya Mbah Nawawi, yang mengabdi dan ngaji di pesantren Almunawwir Krapyak saat menghafalkan Alquran dalam waktu lebih kurang 15 bulan khatam, sehingga membuat Mbah Abdul Qadir Munawwir (putra Mbah Munawwir) tertarik menjadikannya sebagai bagian dari Bani Munawwir, akhirnya Mbah Nawawi dinikahkan dengan adiknya, yakni Mbah Walidah Munawwir.

Pengabdian Mbah Nawawi berlanjut dengan menjadi pengajar Alquran di Almunawwir setelah menyelesaikan qira’at sab’ah di Kudus kepada Mbah Arwani Amin.

Pada contoh lain, salah satu mantan lurah pesantren An-Nur juga menjadi bagian dari keluarga Bani Nawawi, sebut saja Gus Machin yang merelakan melepas kuliahnya untuk mengurus Madrasah Diniyah Al-Furqan atas dawuh Kiai ‘Ashim Nawawi.

Dan tidak ketinggalan, salah satu tim redaksi sabak.or.id berhasil dalam hal keilmuan, juga percintaan, dengan inisial QM berkat pengabdian lamanya di pesantren An-Nur hingga hari ini mengabdi di perguruan tinggi milik An-Nur.

Dari tiga hal tersebut, substansinya adalah, bahwa antara puasa, ngaji dan ngabdi merupakan hubungan yang saling berkelindan, tidak bisa dipisahkan dengan alasan apapun, justru saling melengkapi satu sama lain.

Dan bagi santri, tentu dan bisa dipastikan telah melakukan ketiga hal tersebut dengan tenanan, terlepas dari bagian mana yang menjadi kelebihan masing-masing santri, dan atas dasar apa. Intinya adalah bahwa seorang santri tentu akan berpuasa, ngaji dan ngabdi sebab selama masih merasa menjadi santri, ia masih merasa bodoh dan tidak lebih hebat dari guru-gurunya.

Penulis: Ade Chariri, Mahasiswa Hermeneutika Alquran Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga
Baca esai menarik lainnya yang ditulis oleh Ade Chariri.
Komentar Facebook
0
Baca juga:  Tujuh Alasan Mengapa Santriwati adalah Pilihan Ideal Dijadikan Istri