Tampang Pesantren dan Isu Politik Elektoral
Penulis: Muhammad Ulil Abshor
Kendati dianggap sebagai kaum terbelakang oleh banyak pihak umum,
masyarakat pesantren dengan percaya diri selalu menampik stigma tersebut. Tidak
dengan kata-kata pesantren membantah, karena secara fisik belum banyak
pesantren dikatakan maju. Tapi secara haluan keagamaan dan politik,
bobot pesantren tak bisa dipungkiri beratnya.
Di mana ada pesantren kinclong dan harum mewangi? Mungkin ada, tapi
tidak dominan, pun biayanya selangit mahalnya. Pesantren, lebih-lebih yang
berhaluan klasik, sering menampakkan aspek kesederhanaan lingkungan dan
kemandirian ekonomi “nerimo ing pandum”. Barangkali pengaruh sufistik
dalam literatur merekalah yang sedikit-banyak bertanggung jawab akan hal ini.
Merespon kemodernan
pendidikan pun bagi pesantren menjadi dilema yang dramatis. Di satu sisi
“mempertahankan konsep lama yang masih relevan”, di sisi sebelahnya ada
“mengakomodir kebaharuan yang lebih baik”.
Fakta di lapangan, sesuai hemat
pengamatan penulis, telah sampai pada kesimpulan bahwa pesantren hari ini telah
melampaui zaman dengan strategi kamuflase. Penulis menyebutnya dengan syaubah;
bahasa Arab yang berarti campuran (tapi dinamis).
Itu terjadi bukan tanpa sebab dan dadakan.
Ahmad Baso dalam buku Pesantren Studies-nya mengemukakan teori tasykil jama’i (pembangunan masyarakat) yang secara sadar dilakukan masyarakat pesantren sedari awal, hanya saja tak termaktub dalam legal formal keorganisasian.
Ahmad Baso dalam buku Pesantren Studies-nya mengemukakan teori tasykil jama’i (pembangunan masyarakat) yang secara sadar dilakukan masyarakat pesantren sedari awal, hanya saja tak termaktub dalam legal formal keorganisasian.
Melihat pola pandang
masyarakat dewasa ini yang semakin pragmatis dan hedonis, pesantren tak menutup
mata dengan hal itu. Dibangunlah sistem yang kontemporer dan terlihat akrab
dengan kebaharuan di banyak pesantren, sebagai satire dari keklasikannya.
Kebaharuan hari ini telah
menyeret banyak Kiai untuk berijtihad mempertahankan eksistensi pesantren. Di
samping keterbukaan dengan dunia informasi diperlebar, jaringan birokrasi yang
dirangkul pun semakin mengkapital. Salah satu strateginya bahkan menanam
generasi di lapangan birokratis.
Tujuannya, tentu, mendapatkan akses informasi
kebijakan negara bahkan bisa sampai campur tangan sembunyi badan dalam
mengambil keputusan. Ya seperti itulah kecerdasan pesantren.
Selama ini masyarakat pesantren nyaman-nyaman saja dengan stigma
negatif yang disematkan padanya. Mereka menyadari, betapa fungsi pesantren
sebagai sentra dakwah dan pendidikan Islam di masyarakat punya potensi besar
yang tak bisa terlihat dengan sekilas saja.
Boleh jadi stigma negatif dari masyarakat umum terhadapnya, oleh pesantren dihayati sebagai laku tirakat sebagai santri yang kelak akan turun dari kawah Candradimuka, menuju dataran masyarakat luas.
Boleh jadi stigma negatif dari masyarakat umum terhadapnya, oleh pesantren dihayati sebagai laku tirakat sebagai santri yang kelak akan turun dari kawah Candradimuka, menuju dataran masyarakat luas.
Di tinjau dari kacamata sosiologi, ranah masyarakat pesantren hari
ini masih digapai-dikuasai dengan pengelolaan yang potensial.
Keterwakilan
masyarakat pesantren dalam dinamika kehidupan berbangsa-bernegara menyasar
hampir di segala bidang, baik ekonomi hingga politik, apalagi keagamaan. Sesuai
dengan teori Habitus-nya Pierre Bourdieu (1930-2002), bahwa masyarakat
pesantren bisa dianggap punya kapital modal berupa ajaran Islam yang
kontekstual dan responsif.
Akibat dari itu alumni-alumni pesantren yang
berkiprah di masyarakat luas tetap bisa menajamkan gerakan dakwahnya tanpa aral
rintangan dari interpretasi mereka terhadap ajaran Islam.
Ada muballigh atau guru ngaji yang kesehariannya akrab dengan
lokakarya masyarakat seperti macam petani, tukang kayu, buruh dan lain
sebagainya. Alumni pesantren bisa nyaman dan menembus ranah kehidupan apapun.
Di tingkat yang lebih elit, ranah politis atau birokatis misalnya, alumni pesantren bisa tetap menanjak naik bahkan sampai pucuk pimpinan negara seperti yang dipraktikkan oleh Gus Dur.
Di tingkat yang lebih elit, ranah politis atau birokatis misalnya, alumni pesantren bisa tetap menanjak naik bahkan sampai pucuk pimpinan negara seperti yang dipraktikkan oleh Gus Dur.
Oleh karena demikian, pesantren sebenarnya telah mengahayati
nilai-nilai kehidupan sosial secara seksama dan perlahan kemudian melahirkan
sebuah perilaku sosial yang mendarah daging. Artinya, pesantren dengan
kamuflasenya hingga hari ini, tidak hanya mengaktualisasikan sistem pendidikan
yang bersifat baharu, tapi lebih dari itu, tetap saja bisa eksis dan punya daya
saing dengan kelas-kelas masyarakat manapun di Indonesia.
Perilaku kolektif masyarakat pesantren hari ini dengan tampang yang
sekilas terlihat meragukan, pada dasarnya lahir dari habitus kemurnian ajaran
Islam yang mereka pegang, ditunjang pula dengan modal kapital berupa tafsir
tentang relasi agama dan kehidupan yang kontekstual.
Hari ini bisa dilihat buktinya, bahwa di tengah-tengah riuhnya
persaingan politik elektoral, masyarakat pesantren tanpa diprediksi telah
mencengangkan banyak orang, dengan mendadaknya Kiai Ma’ruf Amin terpilih
sebagai calon wakil Presiden, walau padahal sebelumnya ada seorang profesor terkenal
dan didukung banyak orang sudah dikandidatkan. Tampang bersarung dan berpeci
justru semakin menegaskan potensi dan kemampuan masyarakat pesantren tak bisa
dinilai dari kekolotan tampilan.
Fenomena itu secara tidak langsung memberi pernyataan pada semua
orang bahwa masyarakat pesantren tak bisa dipandang sebelah mata. Menyepelekan
pesantren hanya akan membawa orang pada kekalahan dan malu sendiri. Karena
diam-diam, dibalik hiruk pikuk dunia modern dan disruptif ini, pesantren tak
bisa tercerabut dari realitas kehidupan bangsa Indonesia.
Pesantren justru
semakin eksis, barangkali bisa diangap sudah menjadi institusi induk masyarakat
Indonesia dari zaman proklamasi. Anak tak akan jauh dari induknya.
Legalitas secara kolektif dari masyarakat pesantren sebagai rakyat
kecil tak bisa dibeli murah. Jaringan dan koneksi antar pesantren walau tak
resmi sudah menancapkan solidaritas dan kebersamaan. Suara masyarakat pesantren
saat ini dalam dunia politik, punya orientasi untuk selalu mereduksi
resiko-resiko politik. Maka dalam kondisi tertentu masyarakat pesantren bisa
membelah diri untuk keberpihakan mereka pada sosok calon pemimpin.
Boleh jadi di kondisi lain, masyarakat pesantren mem-bunglon tanpa
disadari banyak orang mereka berpihak di kubu politik mana. Bukan karena alasan
pragmatis pesantren melakukan itu, tapi lebih kepada nilai perjuangan sebagai
orang Islam yang menghargai ilmu keislaman yang diimplementasikan sesuai kebutuhan
negara, bukan sesuai tafsir sepihak.
Tak pelak masyarakat
pesantren akan selalu mengawal politik elektoral serta mengupayakan lahirnya
pemimpin dan para birokrat, dan meramalkan (baca; mengkonstruksi) jalannya
perpolitikan yang sesuai dengan visi-misi pesantren.
Walau berbasis masyarakat
agama, pesantrenlah yang justru hari ini berusaha mengesampingkan isu-isu agama
dari permukaan politik. Begitu.
Saatnya Pesantren menunjukan eksistensinya di ranah politik, ini adalah urgensi, dimana melihat birokrasi ke pemerintahan yang sekuler,al-hasil banyak dari mereka yang melakukan korupsi. Mereka, para koruptor adalah orang orang yang pintar yang sedang pura pura bodoh.
BalasHapus