Dua Sejoli Santri Ndalem
Penulis: Faiz Hasbullah
Pesantren adalah lembaga pendidikan yang di dalamnya
bukan hanya mengkaji keagamaan saja, seperti halnya mengkaji Alquran,
kitab-kitab salaf (kitab kuning), tetapi pesantren juga mendidik santrinya agar
menjadi insan kamil (manusia yang sempurna) yang berilmu ilmiah dan
beramal amaliyah, tentunya juga mengajarkan tentang akhlaq al-karimah,
tata krama, ewuh pekewuh dan lain sebagainya. Biasanya hal-hal demikian
bisa didapat dengan lamanya di pondok, atau menjadi santri ndalem.
Istilah abdi ndalem atau santri ndalem
yaitu seorang santri senior yang sudah mondok lebih dari enam tahun misalnya,
selain mengikuti tarbiyah, juga biasanya keluar masuk ndalem Kiai untuk
menyiapkan suguhan atau daharan* Kiai. Beres-beres rumah,
menyuguhkan jamuan untuk tamu dan lain sebagainya, sebagai bentuk khidmah kepada
pesantren dan seorang Kiai dengan tujuan ngalap barakah.
Ada sebuah kisah tentang Kang Latif dan Kang
Maulana, keduanya adalah pengurus tertua di pesantren, karena saking lamanya di
pesantren, yaitu sekitar puluhan tahun, tetapi belum menikah dan selalu
berjalan berdua kemanapun mereka pergi, sehingga santri junior memanggil mereka
dengan julukan ‘Trijilan’ (dua biji yang tidak terpisahkan).
Selama di
pesantren, kang Trijilan ini menghabiskan waktunya untuk khidmah kepada
pesantren dan Kiai, dengan takzim yang luar biasa, bahkan mereka keluar masuk ndalem
rumah Kiai sehari lebih dari lima puluh kali.
Seiring berjalanya waktu, tidak terasa mereka
berdua habiskan waktu di pesantren sebagai santri ndalem, dan akhirnya
Kang Latif yang memang lebih senior dari Kang Maulana, membernikan diri sowan
ke Kiai dengan tujuan minta izin mukim atau boyong dari pesantren dengan
harapan diizini dan diridloi oleh Kiai.
Akhirnya, Kiai pun memberikan nasihat dan
wejangan ke kang Latif, dan Kiai pun sudah menganggap cukup ilmu yang didapat
oleh kang Latif. Dengan berat hati, sang Kiai meridloi kepergianya untuk pulang
ke kampung halamannya, yaitu Jakarta, dengan syarat nanti pulang harus menjadi
Kuwu*.
Semenjak kepergian Kang Latif, Kang Maulana
pun kesepian, hari-harinya tak ada yang menemani, meskipun sudah ada yang
menggantikan Kang Latif sebagai santri ndalem, tetapi sosok kang Latif
di mata Kang Maulana tidak bisa tergantikan, canda dan guraunya selalu
terngiang ditelinganya, pemikiran-pemikiran nyelenehnya selalu terbayang
dalam benak kang Maulana.
Suatu hari, tiba-tiba kang Maulana dapat telepon
dari Ibunya, dengan tergesa-gesa Kang Maulana pun mengangkat teleponnya,
terdengar suara lirih sang ibu, "Nak".
Kang Maulana pun menimpali ucapan ibunya itu
dengan nada terbata-bata, "Iya bu, gimana kabar Ibu di rumah, ada
keperluan apa Ibu menelepon saya?", ujar Kang Maulana dengan raut wajah
cemas, karena baru kali ini Ibunya menelpon.
Kemudian Ibunya pun menjawab dengan suara
lirih nan sedih, "Nak, Ibu sudah tua, Ibu pengen kamu pulang ke rumah, Ibu
anggap kamu sudah lama di pesantren ilmumu juga sudah cukup Nak, dan Ibu juga
pengen kamu pulang cepat-cepat nikah, Ibu pengen cucu, dan Ibu
juga sudah punya pandangan buat kamu Nak".
"Pandangan apa, Bu?" potong Kang
Maulana dengan nada yang penuh penasaran.
"Anak Pak Junaidi yang mantan Kuwu* itu
loh Nak, yang namanya Markonah kayanya cocok sama kamu Nak, Ibu berharap kamu
juga mau menerimanya, gimana Nak, kamu mau tidak?".
Mendengar perkataan Ibunya, Kang Maulana
kaget dan tercengang bak tersambar petir disiang bolong, tanpa pikir panjang
lebar tidak jelas, karena ingin membahagiakan Ibunya, kang Maulana pun
menimpali pertanyaan ibunya itu.
"Nggih Bu, saya mau".
Setelah selesai menelepon ia pun terdiam dan
melamun dengan penuh beban.
Keesokan harinya Kang Maulana pun
memberanikan diri untuk sowan seperti halnya Kang Latif dulu ketika izin minta
boyong ke Kiai, dan Kiai pun memberinya izin dengan syarat nanti kalau sudah
pulang, di rumah harus muruk (mengajar) ngaji. Akhirnya, Kang Maulana
pun pulang ke kampung halamannya, yaitu Tegal.
Tak terasa, sepuluh tahun kemudian, Kang
Latif dan Kang Maulana sudah menjadi orang 'besar' sesuai apa yang dipesankan Kiai-nya dulu ketika minta izin boyong.
Lama tidak ada komunikasi diantara
keduanya, Kang Maulana yang sudah menjadi seorang guru tiba-tiba ada jadwal ke
Jakarta untuk mengikuti rapat Guru pesantren se-Indonesia dan di waktu yang
sama, Kang Latif yang dari Jakarta ingin pergi ke Yogyakarta bersama
keluarga dalam rangka liburan untuk
menghilangkan penat, yang setiap harinya memikirkan rakyatnya.
Ndilalah saat perjalanan tiba di
Indramayu mereka berdua sedang mengisi bahan bakar di pom bensin, dan
ndilalahnya mereka bertemu di pom bensin tersebut.
Dengan perasaan gembira, rindu yang mendalam, sebab tak kunjung bertemu puluhan tahun lamanya, mereka pun berpelukan
layaknya dulu masih di pesantren.
Dengan raut wajah yang gembira diantara keduanya, mereka pun menyempatkan berbincang sambil menikmati segelas kopi dan
bernostalgia.
Sesekali mereka menepuk dengan tepukan kangen yang mendalam.
Tiba-tiba dari kejauhan terdengar suara keras yang seakan memanggil mereka
berdua dengan sebutan "Kang Trijilan...!".
Mereka pun menoleh ke
arah suara tersebut, dengan wajah yang familiar dan tidak asing itu hadirlah
sosok anak muda yang dulu menjadi juniornya, tetapi mereka lupa akan nama
pemuda tersebut, hanya mengenal wajah yang familiarnya saja.
Kang Latif pun berucap
sambil menunjuk ke pemuda tersebut "kamu Dira yah?".
Kang Maulana
yang merasa lebih tau dari Kang Latif langsung membantah ucapan kang Latif
"bukan, itu bukan Dira, dia tuh Beni".
"Dia Dira" ujar Kang
Latif sambil ngotot.
Kang Maulana pun menimpalinya lagi "dia Beni bukan
Dira".
Akhirnya mereka berdua ribut sambil berkata "Dira Beni Dira
Beni Dira Beni".
Pemuda tersebut pun heran melihat jawaban seniornya itu
salah, dan langsung meluruskan sambil berucap "maaf Kang, saya bukan Dira, bukan Beni, saya Amir"
Alhasil, Amir Dira-Beni.
*Kuwu sama dengan Lurah
*Daharan sama dengan makanan
Posting Komentar untuk "Dua Sejoli Santri Ndalem"