Virus Bernama Suhita dan Enak Tidaknya Dijodohkan Bagi Santri
![]() |
Foto oleh: Niam |
Setelah melewati berbagai
perjuangan panjang agar bisa menjadi seorang yang pantas disandingkan dengan
Gus Birru, tibalah hari pernikahan yang diimpikannya.
Tapi apa yang dikatakan si Gus di
malam pertama? “Aku mau nikah sama kamu karena Umi, aku tidak mencintaimu, atau
tepatnya belum mencintaimu.” Maktratap, Suhita perasaannya menjadi butiran
debu.
Sejak itu, dimulai lah perang dingin antara Suhita dan Birru. Tak pernah ngobrol, bercanda, alih-alih bermesraan. Hanya ketika di depan orang tua dan kondangan saja, berakting layaknya pengantin (baru).
Satu hal yang bikin gregetan dari
novel ini tentu saja adalah betapa cuek-bebek-angsanya Gus Birru yang
belum bisa mencintai Suhita, tapi tak pernah ada usaha sedikit pun untuk jadi
lebih dekat hingga mencintainya.
Namun menurut saya, hal yang
paling menarik menurut saya adalah betapa teguhnya Alina Suhita memegang
nilai-nilai filsafat Jawa yang luhur. Alina tak ingin menyerah karena dalam
namanya tersemat suhita, yang diambil dari nama seorang ratu tangguh dari
Majapahit bernama Dewi Suhita.
Dalam novel ini memang banyak
cerita yang diambil dari cerita pewayangan, juga banyak tokoh yang dianalogikan
dengan tokoh wayang. Penulis novel ini begitu apik dalam ngemix cerita tentang
perempuan, kepesantrenan dan filsafat jawa.
Tiga variabel yang masih jarang
menjadi fokus sastra di Indonesia.
Nah, saking bagusnya cerbung yang kemudian akan dijadikan novel ini, meledaklah ia di fesbuk. Para warganet yang kebanyakan perempuan sedang heboh-hebohnya membicarakan tentang Suhita. Topik Suhita seperti virus flu yang gampang menular, dibicarakan di mana saja , dijadikan status fesbuk dan wasap bahkan jadi pembuka iklan olshop. hehe.
Bahkan, di grup wasap alumni
pondok saya yang isinya kebanyakan ibu-ibu muda, heboh dan sibuk berkomentar
“Duh baper tenaan moco Suhita. Nganti anakku nangis tak jarno.”
“Iyo, Yuuu, asah-asahanku sakgunung kae yo tak jarno, ketungkul moco suhita, wkwkwkwk.” Timpal yang lain.
Ada juga yang komentarnya unik
“Makane aku emoh dijodokne, wedi dadi koyo Suhita.”
Suhita sebagai pengantar saja, jadi begini, apakah dijodohkan semengerikan itu, termasuk bagi santri?
Perjodohan, apalagi di kalangan
santri dan keluarga kiai, merupakan hal yang sangat jamak terjadi, hingga
dianggap sebagai wajar dan biasa saja. Biasanya santri akan manut-manut saja
saat dijodohkan oleh gurunya, kecuali bagi yang tidak manut tentunya, tak peduli
betapa asingnya calon istri atau suaminya tersebut.
Bahkan dalam keluarga kiai,
praktik perjodohan sudah jamak dan sangat umum terjadi, biasanya juga sesama
keluarga kiai agar kedua pesantren saling berhubungan kuat.
Namun, sebagaimana segala sesuatu yang ada di muka bumi ini dan sebagaimana yang pernah dikatakan Sudjiwo Tedjo “Di dunia ini apa sih yang tidak paradoks?. Karenanya, yang namanya perjodohan pasti ada enak dan tidaknya.
Salah satu hal yang paling enak
dari dijodohkan kiai adalah calon yang diajukan insyaallah terjamin
kualitasnya. Ciye kualitas, kayak barang aja, Om?
Bagaimana pun guru atau kiai adalah orang yang kita luhurkan derajatnya sebagai orang yang kita percaya sebagai alim dan dekat dengan gusti Allah, sehingga tidak sembarang menjodohkan. Pasti ada pengamatan secara lahir dan batinnya. Kemungkinan besar juga, sebelum menjodohkan, sang kiai melakukan salat istikharah, sehingga santri tidak perlu repot-repot lagi untuk berpikir. Tinggal manut saja.
- Baca juga Tiga Tirakat yang tidak boleh ditinggal oleh Santri.
- Baca juga Jadi Ulama itu Berat, Kamu Tak Akan Kuat, jadi Ubaru Saja.
Karena kebiasaan langsung sendiko
dhawuh, tanpa pikir panjang santri tersebut langsung menjawab, “Inggih,
Kiai.” sekembalinya dari ndalem si santri tersebut dilanda gundah. Pikirannya
sibuk berspekulasi. Bagaimana kalau ternyata kami nanti tidak cocok? Bagaimana
kalau dia ternyata tidak suka denganku? Dan berbagai bagaimana bersliweran
dipikirannya.
Lalu santri tersebut memutuskan
untuk salat istikharah. Ketika baru saja masuk mushola dan hendak
menggelar sajadah, ternyata sang kiai sudah di depan mushola dan dhawuh “Wis
tho. Nggak usah istikharah, kok ndak percoyo men karo aku?” santri itu pun
langsung speechless. Mak klakep diam seribu tingkah.
Singkat cerita, akhirnya kang dan
mbak itu jadi menikah dan sekarang hidup ayem tentrem dan telah membina sebuah
pondok pesantren.
Dijodohkan oleh kiai bisa juga
berarti prosentase kegagalan berumah tangga bisa diminimalisir. Bila nantinya
terjadi konflik yang bisa mengarah pada perpisahan, tentunya keluarga ndalem
akan ikut urun suara karena merasa bertanggung jawab sebagai pihak yang
menjodohkan.
Hal ini saya simpulkan dari cerita seorang Ning yang pernah bertanya pada ibunya ”Buk, mbak Melati katanya mau cerai sama suaminya lho. Kok Abah Ibuk ndak gimana-gimana, tho? “.
”Lho yang njodohin kan bukan abah ibu, Nduk. Dulu yang nyariin calon bapaknya sendiri, jadi kami ya saru kalau mau ikut campur, tho?.” Jawab ibunya.
Begitu banyak cerita yang
membuktikan bahwa selain sebagai murabbi, kiai juga sebagai mak comblang
yang ulung. Itulah enaknya jadi santri, di pondok ngaji, dapat berkah ilmu dari
para kiai, dan jika sudah dol alias khatam, pasangan sudah siap menanti.
Hehe.
Biasanya santri yang diatur perjodohannya oleh kiai memang santri senior atau sudah mengabdi lama di pondoknya. Santri model begini biasanya juga langsung manut tanpa pikir panjang, kecuali sudah punya calon sendiri.
Namun sebagaimana segala sesuatu
yang ada di dunia, yang namanya dijodohkan juga ada tidak enaknya.
Salah satu tidak enaknya adalah
jika ada orang nyinyir mengomentari bahwa kedua orang yang dijodohkan tidak
sepadan, misalnya “Ih si mbak itu kan cantik dan pinter, kok mau-maunya ya
dijodohkan sama kang anu yang biasa2 aja” atau sebaliknya “Kang pengurus
yang ganteng dan pinter itu kok
mau ya dijodohkan dengan mbak ndalem yang imut, alias ireng-klumut itu”.
Dan lama-kelamaan orang-orang
yang komen tersebut akan berkesimpulan “Ah, pasti ndak bisa nolak karena
ndak enak sama Pak Kiai” mbak atau kang yang di-underestimate-kan
demikian, mungkin sakit hati bila mendengar komentar demikian.
Padahal, siapa yang tahu jika kedua belah pihak menerima karena meyakini bahwa pilihan gurunyalah yang terbaik?
Bagaimana pun, guru di pesantren
adalah orang tua kedua setelah orang tua yang telah melahirkan kita, karenanya
harus sama-sama menghormatinya dan mematuhi dawuh-dawuhnya. Jika orang tua
kandung telah melahirkan dan memberikan kita kasih sayang yang utuh, kiai kita
merupakan orang tua yang mendidik kita secara intelektual dan spiritual.
Sebab demikian, Para santri
biasanya membahasakan kiai mereka dengan istilah murabbirruhi atau sang
guru spiritual yang mendidik hati secara batiniah.
Posting Komentar untuk "Virus Bernama Suhita dan Enak Tidaknya Dijodohkan Bagi Santri"