Moral Pesantren Masa Kini; Mulai Perut ke Kepala atau Perut ke Kaki?
![]() |
Foto oleh Niam |
SABAK.OR.ID - Di pesantren yang diolah adalah bagaimana kecerdasan itu mengolah seluruh tubuh. Tak hanya perut ke kepala, tapi juga perut ke kaki. Mengapa bermula dari perut? Realistis saja “mengisi perut” adalah bagaimana manusia dapat bertahan hidup.
Identitas santri sering dikaitkan dengan benteng terakhir
moralitas bangsa. Dapat dikata jika santri telah melupakan tugasnya sebagai
peniru moral Nabi Muhammad saw. itu artinya kerusakan moral telah menjadi
bencana akut pada identitas kehidupan manusia lainnya.
Hal ini bisa dilihat bagaimana masyarakat ketika melihat
seorang alumni pesantren, sekalipun ia sudah lulus dari lembaga pendidikannya,
namun identitasnya masih selalu disebut sebagai cah pondok.
Ia tak bisa lepas begitu saja dari label 'santri', ia selalu
mendapat tekanan untuk selalu melaksanakan moralitas Islam dengan mencontoh
Nabi dengan sebaik-baiknya, sekalipun dalam kondisi seburuk-buruknya.
Tuntutan ini muncul karena lembaga pendidikan lainnya lebih
menekankan para siswa pada aspek kognitif. Pesantren hadir dengan titik fokus
yang berbeda, ia menekankan pada pendidikan afektif para santri.
Sejujurnya, sistem pendidikan kita menghadirkan pelajaran
matematika sebagai parameter kecerdasan manusia. Semakin lama seseorang
mengenyam pendidikan, arahnya dari perut ke kepala.
Di PAUD dan TK masih ada pelajaran gerakan senam yang masih menghargai
perut ke kaki. Namun melangkah ke SD-SMP-SMA, Ujian Nasional selalu hadir
dengan teori matematika yang semakin mengerucut pada kepala.
Padahal, misalnya adakah teori matematika yang secara
praktis berguna menyelesaikan problem pergaulan
seks bebas? Saat ini, tak akan disebut cerdas bagi orang yang
berusaha mengolah sesuatu yang berada di bawah perut hingga kaki. Bahkan orang
tua pun berkata, "Jika nilai matematikamu 90, uang jajanmu akan
bertambah.” Jarang yang bilang, "Jika
kamu jomblo, uang jajanmu akan bertambah."
Di pesantren yang diolah adalah bagaimana kecerdasan itu
mengolah seluruh tubuh. Tak hanya perut ke kepala, tapi juga perut ke kaki.
Mengapa bermula dari perut? Realistis saja “mengisi perut” adalah bagaimana
manusia dapat bertahan hidup.
Pesantren mengajarkan mana yang pantas untuk masuk perut.
Konsep halal-haram menekan resiko manusia agar tak mudah kehilangan kesadaran.
Taruh saja bagaimana Islam melarang keras meminum sesuatu yang memabukkan.
Karena dapat mengakibatkan munculnya potensi kerusakan yang lebih besar akibat
kehilangan kesadaran. Membunuh misalnya, suatu contoh di mana perbuatan
tersebut secara moral sama sekali tiada toleransinya.
Kaki sebagai alat transportasi tubuh mengantarkan manusia
hendak menuju ke arah mana? Apakah niat dalam hati sudah selaras dengan apa
yang dilakukan oleh tubuh? Islam melalui pembelajaran ala Pesantren,
memperhatikan hal-hal detail pada pola kehidupan manusia.
Tak melulu soal bagaimana mengasah kemampuan kepala, apalagi
hanya sekedar mengejar popularitas dan prestasi jati diri. Tapi bagaimana
idealnya seorang manusia itu hidup, untuk selalu rendah hati dalam setiap
pujian ataupun tabah dalam setiap cercaan.
Pendidikan Pesantren tidak sekedar berusaha memberikan visi
pada santrinya untuk menjadi pemenuhan sumber daya manusia demi lapangan
pekerjaan. Orientasinya lebih kepada:
Bagaimana seharusnya manusia itu hidup? Pengorbanan apa yang
telah kamu lakukan pada masyarakat (tribute
to the society)?
Jadi bukan bagaimana memenuhi diri atas hak sesama, tapi
bagaimana memenuhi diri pada kewajiban bersama. Catat! Memenuhi diri pada
kewajiban bersama.
Tahun-tahun ini, penilaian pada kecerdasan yang berasal dari
kepala, telah memperlihatkan bagaimana kegelimangan revolusi sains tanpa
dibarengi dengan penjagaan moral, hal tersebut telah membawa dampak negatif
pada bumi yang kita tinggali.
Selama sekian juta tahun usia bumi pernah ada, pemanasan
global tertinggi tercatat terjadi pada tahun 2016. Dan sepertinya kasus
tersebut akan sering terjadi di tahun-tahun mendatang.
Moralitas haruslah tetap menjadi titik fokus utama bagi
pendidikan ala pesantren. Karena itulah yang menjadi ciri-khas utama bagi
seorang santri. Harapannya adalah bagaimana pesantren mengembangkan sayapnya
untuk tak hanya bermoral bagi sesama manusia, namun juga bagaimana moral itu
masuk pula pada dimensi bagi sesama makhluk ciptaan Allah.
Kenapa demikian? Karena di luar sana, tuntutan sistem
pendidikan yang berpusat pada kepala, hampir-hampir selalu berusaha memberikan
peluang besar sebagai penyedia tenaga kerja pada wilayah industri. Bila itu
terjadi, sistem pendidikan mana yang akan memberikan jawaban moral kepada
masyarakat?
Khilafah? Mimpi...
Penulis: Mujib Romadlon